Jumat, 04 Januari 2008

children learn what they live



anak by Dorothy Law Nolte

Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki...... ....
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,Ia belajar berkelahi... .......
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,Ia belajar rendah diri........ ..
Jika anak dibesarkan dengan dengan penghinaan,Ia belajar menyesali diri........ ..
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri........ .
.Jika anak dibesarkan dengan dorongan,Ia belajar percaya diri........ ..
Jika anak dibesarkan dengan perlakuan yang sebaik-baiknya,Ia belajar keadilan.... ......
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan... .
.Teks asli oleh Dorothy Law Nolte

Top of Form

Jawaban Otentik Seorang Anak


Jawaban Otentik Seorang Anak

Ini sebuah fakta. Pada sebuah ulangan mata pelajaran IPS Kelas 1 sebuah SD ada pertanyaan sbb:


- Gambar di samping ini mewujudkan kasih sayang seorang ... (gambarnya adalah gambar seorang perempuan yg sedang memangku seorang anak sambil membelai kepalanya)


A. Pembantu
B. Ayah
C. Ibu


Si anak memilih jawaban yg pertama: A. pembantu.Oleh gurunya jawaban itu disalahkan
Maka, tidak heran dunia pendidikan kita sulit maju. Betapa tidak sejak dini pengajarannya sudah sesat seperti ini. Pertanyaan2 sejenis ini membuktikan bahwa para pendidik masih melakukan pengajaran dgn sistem dan sudut pandang yg sempit, kaku, letterlijk, textbook, dan dgn sudut pandang dewasa u/ mengajar anak2.


Konyol dan memprihatinkan ketika jawaban sang anak disalahkan o/ sang guru. Kalau memang pengalaman si anak demikian, maka tentu saja dia akan menjawab dgn sejujur dan sepolosnya seorang anak. Aneh, kok disalahkan? Pertanyaan seperti itu mempunyai jawaban yg sangat relatif. Seharusnya jawaban si anak ini membuat guru dan orangtuanya merasa prihatin dan harus merenung; kenapa si anak memilih jawaban itu. Sangat mungkin ini karena selama ini dia kurang mendapat kasih sayang dari Ibunya sendiri. Di era sekarang banyak keluarga yg demikian. Yg hanya mau mencetak anak, tetapi tidak mau repot2 mengasuhnya. Mereka merasa cukup dipenuhi kebutuhan materinya. Urusan mengasuh dan mendidik biarlah sepenuhnya urusan pembantu, baby sitter dan guru di sekolah. Akibatnya, anak tidak merasa kasih sayang orangtuanya, sebaliknya memperolehnya dari pengasuhnya.


Kejadian seperti ini mirip sekali dgn pengalaman yg pernah saya baca. Di sebuah SD, oleh gurunya, anak2 SD itu diberi tugas mengarang tentang tempat rekreasi yg mereka kunjungi di hari Minggu sebelum masuk sekolah. Pada waktu tugas mengarang itu dikumpulkan seorang anak dipanggil gurunya dan ditegur karena tidak mengerjakan tugas mengarang seperti yg ditugaskannya. Anak itu pun diberi nilai 5 (merah). Kesalahan apakah yg dimaksud sang guru dlm karangan si anak?


Kesalahan si anak SD itu adalah ternyata dia tidak mengarang ttg tempat rekreasi yg dimaksud sang guru, melainkan malah dlm karangannya itu menceritakan ttg apa yg dikerjakan di rumah bersama orangtuanya di hari Minggu itu! Rupanya si anak di hari Minggu tsb tidak ke mana-mana, tapi menghabiskan waktu bersama-sama orangtuanya di rumah. kenyataan itulah yg dia ceritakan, dan oleh guru dianggap itu suatu kesalahan yg patut mendapat nilai buruk. Kreatifitas sang anak pun dibunuh sejak dini.
Sumber: Tulisan Sdr "Daniel H.T."
.

Pendidikan Masih Berjarak dengan Realitas



Pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah masih berjarak dengan realitas kehidupan yang ada di masyarakat. Padahal, pendidikan mestinya menyiapkan anak-anak menjalani kehidupan dan berkarya di masyarakat.


Hal ini diungkapkan Jurgen Zimmer, Presiden dan Pendiri School for Life, serta Helen Morrschel, Koordinator Kepala Sekolah Ciputra Surabaya, dalam Konferensi Guru Indonesia 2007 di Jakarta, Rabu (28/11). Konferensi yang dihadiri sekitar 800 guru itu mengambil tema "Better Community through Better Education" hasil kerja sama Sampoerna Foundation Teacher Institute, Provisi Education, dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Zimmer mengatakan, anak-anak harus diberi peluang untuk mengembangkan diri. Untuk itu, pendidikan konvensional yang terpaku pada kurikulum saja, tanpa mengaitkannya dengan keseharian hidup, perlu diubah.


Pendidikan yang dilaksanakan di School for Life di Jerman dan Thailand, misalnya, mampu menciptakan suasana belajar yang merangsang anak untuk kreatif dan siap menjalani kehidupan. Pembelajaran di kelas diperkaya dengan beragam pusat keunggulan yang mampu membekali siswa untuk bisa meraih peluang dan tantangan kehidupan.


Helen Morrschel menjelaskan, pembelajaran di dalam kelas saja tidak cukup. "Guru harus ciptakan proyek-proyek yang ada dalam realitas kehidupan untuk merangsang anak mau terus belajar," kata Morrschel.


Giri Suryamatna, Sekretaris Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, mengakui bahwa pendidikan di Indonesia masih dipertanyakan kualitasnya untuk menghasilkan generasi yang mandiri. Salah satu kuncinya antara lain dengan meningkatkan kualitas guru.


Sumber : Kompas, Jumat, 30 November 2007

Metafora Pendidikan


Metafora Pendidikan


Cara-cara kita memandang pendidikan sering kali ditentukan oleh metafora yang ada di dalam benak kita. Metafora memberi bentuk pada ide atau konsep. Bahasa figural ini memengaruhi cara kita memahami proses pendidikan, terutama cara kita mendesain evaluasi program pendidikan.


Polemik seputar ujian nasional (UN), sertifikasi guru, standardisasi kualitas sekolah, dan Kurikulum Terpadu Sistem Pengajaran (KTSP) berasal dari satu metafora utama, yaitu sekolah sebagai pabrik.


sekolah sebagai pabrik


Sejak pertengahan abad ke-19 orang sering kali menganalogikan sekolah dengan pabrik. Metafora ini semakin kuat ketika industrialisasi semakin pesat. Sistem kontrol melalui supervisi berkesinambungan atas perilaku dan kinerja sebagaimana terjadi dalam dunia industri, misalnya, lantas dipakai sebagai model bagi administrator sekolah.
"Seperti seorang manajer pabrik tenun, pengawas sekolah harus menyelia karyawannya, menjaga agar kinerjanya tetap up to date, memonitor keseragaman dan kualitas produksi" (Tyack, 1974:41).


Karena itu, tes yang telah distandardisasi menjadi teknik penting bagi pengawas untuk memonitor hasil sehingga kinerja para siswa dan guru semakin transparan (accountable) .
Kurikulum menjadi alat produksi. Siswa menjadi materi kasar yang harus diolah dan dibentuk menjadi barang jadi yang berguna. Guru dianggap sebagai tek- nisi yang memiliki keterampilan tinggi. Hasil produksi diatur secara saksama agar tidak menyimpang dari desain yang telah ditetapkan. Apa yang tidak efisien dibuang, digantikan dengan yang lebih efektif. Fokus utama pada pengelolaan materi kasar bertujuan agar proses kanalisasi produksi berjalan baik sesuai sistem yang ditetapkan. Materi yang berguna akan dimaksimalkan. Perspektif dasar para pekerjanya adalah hasil akhir yang bisa dikonsumsi sebagai barang jadi.


Karena metaforanya dari dunia pabrik, istilah-istilah yang dipergunakan dalam dunia pendidikan juga sama, misalnya, barang jadi/hasil akhir/lulusan, perencanaan anggaran, akuntabilitas, standardisasi/ destandardisasi, kompetisi, pasar bebas. Terminologi inilah yang hampir menjiwai setiap proposal pembaruan pendidikan di negara kita.Penggantian kurikulum, misalnya, merupakan indikasi bahwa alat produksi ini tidak begitu efektif menghasilkan produk sebagaimana diharapkan. Standardisasi, baik melalui UN maupun melalui sertifikasi, merupakan prosedur agar diperoleh hasil yang diinginkan setelah melewati prosedur baku dan sistematis. Hal-hal yang tidak efisien dan efektif, seperti pelajaran sejarah, geografi, dan seni dianggap tidak berguna dan sekolah akan mengutamakan pelajaran bahasa, matematika, sains, dan teknologi. Anak-anak yang genius dan berbakat diberi dorongan agar bisa meraih prestasi di tingkat internasional, sementara yang bodoh ditinggalkan. Sekolah akan mengutamakan pembentukan keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar.


Metafora sekolah sebagai pabrik tampaknya akan tetap menjadi idola bagi kebijakan pendidikan di Indonesia. Evaluasi pendidikan dengan orientasi pada pendekatan pencapaian tujuan (the goal-oriented approach) merupakan cara paling kuno yang banyak dipakai dalam evaluasi pendidikan.


Metafora pabrik tidak cocok dengan realitas sekolah. Sekolah bukan sekadar tempat hal-hal yang bersifat masif diproduksi. Guru juga bukanlah pekerja assembling yang tugasnya sekadar memasang sekrup atau peranti sesuai prosedur agar hasil akhir bisa sama dan standar. Orang yang terdidik bukanlah hasil dari pekerjaan bongkar pasang yang ada garansinya. Sebaliknya, guru dan murid sama-sama terlibat dalam sebuah proses yang hasil akhirnya tidak dapat mereka kontrol. Guru bukanlah teknisi, dan murid bukanlah materi kasar yang hanya bisa diam ketika diintervensi oleh pihak lain.


Selain itu, sekolah merupakan sebuah sistem sosial yang sangat kompleks, organik, dan menjadi mikrokosmos sebuah realitas sosial. Guru, murid, dan semua individu dalam lembaga pendidikan adalah individu yang unik dan pribadi yang memiliki kebebasan. Mereka tidak dapat distandardisasi sebagai barang produksi, baik melalui UN maupun sertifikasi.

Lima kritik utama


Metafora sekolah sebagai pabrik menuai banyak kritik.


Pertama, evaluasi pendidikan berorientasi pada hasil mendasarkan asumsinya terutama pada program, transparansi dan penentuan tujuan. Dengan model ini, tidak akan dapat dijelaskan apa sesungguhnya yang telah terjadi dalam sebuah proses, atau identifikasi faktor-faktor yang dapat memengaruhi hasil akhir (sumbangan sekolah, peranan guru, sistem pembelajaran, dan lain-lain), baik yang tercakup di dalam maupun di luar program.


Kedua, identifikasi dan spesifikasi tanggung jawab, apakah itu bagi penyedia jasa (sekolah) atau klien (siswa), menjadi sulit. Peranan mereka menjadi ambigu. Siapakah yang bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan siswa? Masuk akal mengatakan bahwa sekolah dan guru bertanggung jawab atas prestasi siswa. Namun, apakah siswa dan orangtua tidak ikut bertanggung jawab? Bagaimana membuat proporsi tanggung jawab ini?


Ketiga, data-data atas kinerja sekolah tidak dapat diperbandingkan. Hasil UN, misalnya, tidak dapat dipakai untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Sebab, data pendukung untuk monitor kinerja tiap sekolah tidak ada, antara lain data tentang tingkat sosial ekonomi keluarga, rasio guru-murid, kualitas guru, sarana sekolah, sistem penggajian, dan perbedaan etnis.


Keempat, karena evaluasi atas hasil akhir hanya menyentuh jangkauan terbatas hasil tertentu, misalnya, kemampuan akademis pada mata pelajaran tertentu yang di-UN-kan, maka data-data yang diperoleh tidak secara adekuat menggambarkan kualitas sistem pendidikan nasional kita.


Kelima, karena evaluasi mengutamakan tercapainya standar hasil yang telah ditetapkan, akibat-akibat yang tidak diinginkan bisa terjadi. Ketika pendidikan hanya dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan, pendidikan di sekolah hanya akan terarah pada pencapaian tujuan, tidak peduli apakah tujuan dicapai dengan cara curang seperti mencontek, memberi jawaban kepada siswa, katrol nilai, atau mendatangkan lembaga bimbingan belajar ke sekolah.
Metafora sekolah sebagai pabrik semestinya segera kita hilangkan. Desain evaluasi pendidikan berorientasi pada hasil sesungguhnya tidak dapat dipakai sebagai data untuk memetakan sistem pendidikan kita atau kualitas sekolah. Maka, anggaran UN Rp 754 miliar itu hanya akan menjadi pemborosan tiada guna!


Penulis : Doni Koesoema, A. Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education.

Pola Pikir Orientasi Pendidikan



Oleh : Benny Susetyo Pr *)


Pendidikan bukan hanya sekadar media untuk menambah wawasan. Jauh lebih penting pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai. Pendidikan bukan sekadar pengajaran. Pendidikan bukan sekadar berkenaan dengan aspek kuantitatif saja, melainkan yang lebih urgen dikedepankan adalah aspek kualitatif siswa. Sebagian kecil siswa yang berprestasi menjuarai olimpiade nasional maupun internasional sama sekali tidak bisa dijadikan cerminan bahwa mengukur keberhasilan pendidikan semata-mata dari aspek kuantitatif. Keberhasilandalam penanaman budi pekerti dan sikap jujur, kepedulian sosial, kemampuan bersosialisasi, dan berkreasi dalam lingkungan masyarakatnya, tidak bisa diukur dari keberhasilan siswa lulus dari ujian, apalagi dengan embel-embel "nasional".


Kontroversi mengenai ujian nasional terus digelindingkan oleh pemerintah. Seolah-olah tak mau mendengar dan menghargai berbagai protes yang di penjuru negeri ini. Pemerintah menutup telinga terhadap semua masukan. Ujian nasional segera digelar dan bahkan kali ini yang disasar adalah anak sekolah dasar.


Dalam wacana publik, pemerintah menutup semua kemungkinan yang diperkirakan oleh para pengkritik. Kita sedang dalam suasana yang kurang sehat. Orientasi keberhasilan pendidikan hanya melulu diukur dari patokan pemerintah. Aspek negatif dan positifnya, jangka pendek, dan panjangnya, tidak dikaji secara mendalam. Ini terjadi karena ruang publik sudah penuh dengan dominasi aspek kekuasaan. Politik pendidikan versi penguasa terjadi dalam berbagai bentuk dan kesem- patan.

Kebijakan pendidikan yang penuh unsur "kekuasaan" inilah yang membuat setiap kebijakan pendidikan pemerintah sepanjang reformasi ini terasa dilematis dan penuh polemik. Perhitungan untung-rugi diselenggarakannya ujian nasional tidak pernah menemui kejelasan dan titik terang. Pemerintah bersikap /rigid/ dan sebagian masyarakat bersikap skeptis. Sikap pemerintah demikian kaku, seakan-akan tidak mau dikalahkan, dikoreksi, dan dikritik. Ini semakin menambah kebuntuan nalar berpikir yang jernih dan positif tentang apa keuntungan dan kerugian melaksanakan ujian nasional. Lebih besar mana porsi persentasenya dan bagaimana respons dan reaksi guru dan anak didik sebagai pelaku pendidikan itu sendiri.
Kebijakan pendidikan kita sejauh ini pada akhirnya hanya berhasil melahirkan "buah simalakama". Kontroversi dan polemik mengenai ujian yang diadakan di sekolah-sekolah seolah-olah tidak kunjung selesai dipermasalahkan. Para birokrat pendidikan, teknisi dan praktisi pendidikan, serta masyarakat umum, masih saja harus bergantung pada kebijakan Pemerintah Pusat walau sering berbenturan dengan aspirasi masyarakat.


*Lebih Merdeka*


Pendidikan dibutuhkan tidak hanya sekadar untuk menghapal rumus atau transfer ilmu pengetahuan. Itu penting, tapi bukan yang terpenting. Yang terpenting dari mengapa pendidikan diselenggarakan adalah agar anak-anak bangsa lebih merdeka dalam menentukan pilihan, lebih berani dalam bersikap jujur, lebih kreatif dan memiliki solidaritas yang kuat. Mutu pendidikan bukan hanya sekadar ditentukan oleh ujian nasional melainkan pada paradigma pendidikan itu sendiri. Selama ini, kita sering menjadikannya sebagai tolok ukur prestasi, padahal secara substansi hal itu tidak pernah menjadi bukti. Justru pendidikan kita semakin terperosok karena kebijakan tersebut selalu dibarengi dengan perilaku tak terpuji seperti korupsi dan manipulasi anggaran. Kebijakan ini mengandung beberapa paradoks yang sering dirasa tanpa disadari. Kebijakan ini juga merupakan cermin carut-marut dari keseluruhan kebijakan pendidikan di Indonesia.


Tampaknya pemerintah tidak pernah mengaca pada segenap kegagalan yang direproduksi berkali-kali. Pemerintah hanya bisa membusungkan dada ketika menyaksikan sebagian sangat kecil siswa menerima kalungan medali. Tetapi, mereka abai terhadap persoalan: mengapa pendidikan melahirkan geng yang hobi "memalaki" masyarakat, senior yang mendidik yuniornya dengan kekerasan, murid sekolah yang terlibat kriminalitas, dan solidaritas yang dimaknai sempit untuk "tawuran". Mereka (para remaja) itu tak pernah memperoleh kasih sayang dari pemerintah, ketika sekolah hanya memikirkan untuk "menyelamatkan mukanya" mengejar angka-angka tanpa memiliki waktu untuk memberikan kasih sayang kepada siswanya. Demikian pula ketika orang tua berjibaku dengan problem ekonominya dan ketika pemerintah menaikkan harga-harga. Anak-anak kita dari waktu ke waktu menjadi korban kesalahan generasi kita saat ini yang berpikir pendek.


Pendidikan bukan sekadar problem di sekolah, melainkan saling mengait dengan seluruh aspek lingkungan di mana siswa berkehidupan, termasuk bagaimana pemerintah melahirkan kebijakan yang lebih mendorong tumbuhnya nilai-nilai positif.


Pendidikan bukan hanya berorientasi "angka". Pola berpikir seperti ini akan mereduksi pendidikan dalam kerangka kuantitas saja. Mereka yang beranggapan bahwa penambahan mata pelajaran akan membuat para murid belajar keras, padahal seringkali kebijakan ini justru membuat beban siswa semakin berat karena pendidikan tidak memerdekakan anak bangsa untuk menjadi dirinya sendiri. Siswa akan semakin kesulitan untuk menemukan ruang mendewasakan diri.


Dengan beban mata pelajaran yang terlalu banyak, tapi tidak mendalam, berakibat wawasan siswa kurang mendalam. Sebab yang dipikirkan hanyalah angka belaka. Sekolah akhirnya bukan tempat yang nyaman bagi siswa untuk mengembangkan diri. Padahal, pendidikan merupakan proses bagi siswa untuk memiliki daya ekspresi dan wawasan lebih dalam, bukan hanya sekadar mencari nilai ijazah. Sesat pikir seperti inilah yang selalu diperkenalkan penguasa, entah apa maksudnya. Kontroversi dalam berbagai kebijakan pendidikan cukup jelas menggambarkan lemahnya visi pemerintah dalam kebijakan pendidikan selama ini. Visi adalah sebuah jangkauan terpanjang dari apa yang hendak dicapai dan dituju. Tetapi, kalau satu kebijakan hanya diarahkan untuk mengejar target, di mana visi pendidikan kita untuk mencerdaskan, maka itu membuat paradigma pendidikan semakin tidak jelas.

*) Penulis adalah penulis buku Politik Pendidikan Penguasa LKIS 2006.


Sumber : SUARA PEMBARUAN DAILY