Jumat, 04 Januari 2008

Metafora Pendidikan


Metafora Pendidikan


Cara-cara kita memandang pendidikan sering kali ditentukan oleh metafora yang ada di dalam benak kita. Metafora memberi bentuk pada ide atau konsep. Bahasa figural ini memengaruhi cara kita memahami proses pendidikan, terutama cara kita mendesain evaluasi program pendidikan.


Polemik seputar ujian nasional (UN), sertifikasi guru, standardisasi kualitas sekolah, dan Kurikulum Terpadu Sistem Pengajaran (KTSP) berasal dari satu metafora utama, yaitu sekolah sebagai pabrik.


sekolah sebagai pabrik


Sejak pertengahan abad ke-19 orang sering kali menganalogikan sekolah dengan pabrik. Metafora ini semakin kuat ketika industrialisasi semakin pesat. Sistem kontrol melalui supervisi berkesinambungan atas perilaku dan kinerja sebagaimana terjadi dalam dunia industri, misalnya, lantas dipakai sebagai model bagi administrator sekolah.
"Seperti seorang manajer pabrik tenun, pengawas sekolah harus menyelia karyawannya, menjaga agar kinerjanya tetap up to date, memonitor keseragaman dan kualitas produksi" (Tyack, 1974:41).


Karena itu, tes yang telah distandardisasi menjadi teknik penting bagi pengawas untuk memonitor hasil sehingga kinerja para siswa dan guru semakin transparan (accountable) .
Kurikulum menjadi alat produksi. Siswa menjadi materi kasar yang harus diolah dan dibentuk menjadi barang jadi yang berguna. Guru dianggap sebagai tek- nisi yang memiliki keterampilan tinggi. Hasil produksi diatur secara saksama agar tidak menyimpang dari desain yang telah ditetapkan. Apa yang tidak efisien dibuang, digantikan dengan yang lebih efektif. Fokus utama pada pengelolaan materi kasar bertujuan agar proses kanalisasi produksi berjalan baik sesuai sistem yang ditetapkan. Materi yang berguna akan dimaksimalkan. Perspektif dasar para pekerjanya adalah hasil akhir yang bisa dikonsumsi sebagai barang jadi.


Karena metaforanya dari dunia pabrik, istilah-istilah yang dipergunakan dalam dunia pendidikan juga sama, misalnya, barang jadi/hasil akhir/lulusan, perencanaan anggaran, akuntabilitas, standardisasi/ destandardisasi, kompetisi, pasar bebas. Terminologi inilah yang hampir menjiwai setiap proposal pembaruan pendidikan di negara kita.Penggantian kurikulum, misalnya, merupakan indikasi bahwa alat produksi ini tidak begitu efektif menghasilkan produk sebagaimana diharapkan. Standardisasi, baik melalui UN maupun melalui sertifikasi, merupakan prosedur agar diperoleh hasil yang diinginkan setelah melewati prosedur baku dan sistematis. Hal-hal yang tidak efisien dan efektif, seperti pelajaran sejarah, geografi, dan seni dianggap tidak berguna dan sekolah akan mengutamakan pelajaran bahasa, matematika, sains, dan teknologi. Anak-anak yang genius dan berbakat diberi dorongan agar bisa meraih prestasi di tingkat internasional, sementara yang bodoh ditinggalkan. Sekolah akan mengutamakan pembentukan keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar.


Metafora sekolah sebagai pabrik tampaknya akan tetap menjadi idola bagi kebijakan pendidikan di Indonesia. Evaluasi pendidikan dengan orientasi pada pendekatan pencapaian tujuan (the goal-oriented approach) merupakan cara paling kuno yang banyak dipakai dalam evaluasi pendidikan.


Metafora pabrik tidak cocok dengan realitas sekolah. Sekolah bukan sekadar tempat hal-hal yang bersifat masif diproduksi. Guru juga bukanlah pekerja assembling yang tugasnya sekadar memasang sekrup atau peranti sesuai prosedur agar hasil akhir bisa sama dan standar. Orang yang terdidik bukanlah hasil dari pekerjaan bongkar pasang yang ada garansinya. Sebaliknya, guru dan murid sama-sama terlibat dalam sebuah proses yang hasil akhirnya tidak dapat mereka kontrol. Guru bukanlah teknisi, dan murid bukanlah materi kasar yang hanya bisa diam ketika diintervensi oleh pihak lain.


Selain itu, sekolah merupakan sebuah sistem sosial yang sangat kompleks, organik, dan menjadi mikrokosmos sebuah realitas sosial. Guru, murid, dan semua individu dalam lembaga pendidikan adalah individu yang unik dan pribadi yang memiliki kebebasan. Mereka tidak dapat distandardisasi sebagai barang produksi, baik melalui UN maupun sertifikasi.

Lima kritik utama


Metafora sekolah sebagai pabrik menuai banyak kritik.


Pertama, evaluasi pendidikan berorientasi pada hasil mendasarkan asumsinya terutama pada program, transparansi dan penentuan tujuan. Dengan model ini, tidak akan dapat dijelaskan apa sesungguhnya yang telah terjadi dalam sebuah proses, atau identifikasi faktor-faktor yang dapat memengaruhi hasil akhir (sumbangan sekolah, peranan guru, sistem pembelajaran, dan lain-lain), baik yang tercakup di dalam maupun di luar program.


Kedua, identifikasi dan spesifikasi tanggung jawab, apakah itu bagi penyedia jasa (sekolah) atau klien (siswa), menjadi sulit. Peranan mereka menjadi ambigu. Siapakah yang bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan siswa? Masuk akal mengatakan bahwa sekolah dan guru bertanggung jawab atas prestasi siswa. Namun, apakah siswa dan orangtua tidak ikut bertanggung jawab? Bagaimana membuat proporsi tanggung jawab ini?


Ketiga, data-data atas kinerja sekolah tidak dapat diperbandingkan. Hasil UN, misalnya, tidak dapat dipakai untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Sebab, data pendukung untuk monitor kinerja tiap sekolah tidak ada, antara lain data tentang tingkat sosial ekonomi keluarga, rasio guru-murid, kualitas guru, sarana sekolah, sistem penggajian, dan perbedaan etnis.


Keempat, karena evaluasi atas hasil akhir hanya menyentuh jangkauan terbatas hasil tertentu, misalnya, kemampuan akademis pada mata pelajaran tertentu yang di-UN-kan, maka data-data yang diperoleh tidak secara adekuat menggambarkan kualitas sistem pendidikan nasional kita.


Kelima, karena evaluasi mengutamakan tercapainya standar hasil yang telah ditetapkan, akibat-akibat yang tidak diinginkan bisa terjadi. Ketika pendidikan hanya dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan, pendidikan di sekolah hanya akan terarah pada pencapaian tujuan, tidak peduli apakah tujuan dicapai dengan cara curang seperti mencontek, memberi jawaban kepada siswa, katrol nilai, atau mendatangkan lembaga bimbingan belajar ke sekolah.
Metafora sekolah sebagai pabrik semestinya segera kita hilangkan. Desain evaluasi pendidikan berorientasi pada hasil sesungguhnya tidak dapat dipakai sebagai data untuk memetakan sistem pendidikan kita atau kualitas sekolah. Maka, anggaran UN Rp 754 miliar itu hanya akan menjadi pemborosan tiada guna!


Penulis : Doni Koesoema, A. Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education.

Tidak ada komentar: