Jumat, 04 Januari 2008

Pola Pikir Orientasi Pendidikan



Oleh : Benny Susetyo Pr *)


Pendidikan bukan hanya sekadar media untuk menambah wawasan. Jauh lebih penting pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai. Pendidikan bukan sekadar pengajaran. Pendidikan bukan sekadar berkenaan dengan aspek kuantitatif saja, melainkan yang lebih urgen dikedepankan adalah aspek kualitatif siswa. Sebagian kecil siswa yang berprestasi menjuarai olimpiade nasional maupun internasional sama sekali tidak bisa dijadikan cerminan bahwa mengukur keberhasilan pendidikan semata-mata dari aspek kuantitatif. Keberhasilandalam penanaman budi pekerti dan sikap jujur, kepedulian sosial, kemampuan bersosialisasi, dan berkreasi dalam lingkungan masyarakatnya, tidak bisa diukur dari keberhasilan siswa lulus dari ujian, apalagi dengan embel-embel "nasional".


Kontroversi mengenai ujian nasional terus digelindingkan oleh pemerintah. Seolah-olah tak mau mendengar dan menghargai berbagai protes yang di penjuru negeri ini. Pemerintah menutup telinga terhadap semua masukan. Ujian nasional segera digelar dan bahkan kali ini yang disasar adalah anak sekolah dasar.


Dalam wacana publik, pemerintah menutup semua kemungkinan yang diperkirakan oleh para pengkritik. Kita sedang dalam suasana yang kurang sehat. Orientasi keberhasilan pendidikan hanya melulu diukur dari patokan pemerintah. Aspek negatif dan positifnya, jangka pendek, dan panjangnya, tidak dikaji secara mendalam. Ini terjadi karena ruang publik sudah penuh dengan dominasi aspek kekuasaan. Politik pendidikan versi penguasa terjadi dalam berbagai bentuk dan kesem- patan.

Kebijakan pendidikan yang penuh unsur "kekuasaan" inilah yang membuat setiap kebijakan pendidikan pemerintah sepanjang reformasi ini terasa dilematis dan penuh polemik. Perhitungan untung-rugi diselenggarakannya ujian nasional tidak pernah menemui kejelasan dan titik terang. Pemerintah bersikap /rigid/ dan sebagian masyarakat bersikap skeptis. Sikap pemerintah demikian kaku, seakan-akan tidak mau dikalahkan, dikoreksi, dan dikritik. Ini semakin menambah kebuntuan nalar berpikir yang jernih dan positif tentang apa keuntungan dan kerugian melaksanakan ujian nasional. Lebih besar mana porsi persentasenya dan bagaimana respons dan reaksi guru dan anak didik sebagai pelaku pendidikan itu sendiri.
Kebijakan pendidikan kita sejauh ini pada akhirnya hanya berhasil melahirkan "buah simalakama". Kontroversi dan polemik mengenai ujian yang diadakan di sekolah-sekolah seolah-olah tidak kunjung selesai dipermasalahkan. Para birokrat pendidikan, teknisi dan praktisi pendidikan, serta masyarakat umum, masih saja harus bergantung pada kebijakan Pemerintah Pusat walau sering berbenturan dengan aspirasi masyarakat.


*Lebih Merdeka*


Pendidikan dibutuhkan tidak hanya sekadar untuk menghapal rumus atau transfer ilmu pengetahuan. Itu penting, tapi bukan yang terpenting. Yang terpenting dari mengapa pendidikan diselenggarakan adalah agar anak-anak bangsa lebih merdeka dalam menentukan pilihan, lebih berani dalam bersikap jujur, lebih kreatif dan memiliki solidaritas yang kuat. Mutu pendidikan bukan hanya sekadar ditentukan oleh ujian nasional melainkan pada paradigma pendidikan itu sendiri. Selama ini, kita sering menjadikannya sebagai tolok ukur prestasi, padahal secara substansi hal itu tidak pernah menjadi bukti. Justru pendidikan kita semakin terperosok karena kebijakan tersebut selalu dibarengi dengan perilaku tak terpuji seperti korupsi dan manipulasi anggaran. Kebijakan ini mengandung beberapa paradoks yang sering dirasa tanpa disadari. Kebijakan ini juga merupakan cermin carut-marut dari keseluruhan kebijakan pendidikan di Indonesia.


Tampaknya pemerintah tidak pernah mengaca pada segenap kegagalan yang direproduksi berkali-kali. Pemerintah hanya bisa membusungkan dada ketika menyaksikan sebagian sangat kecil siswa menerima kalungan medali. Tetapi, mereka abai terhadap persoalan: mengapa pendidikan melahirkan geng yang hobi "memalaki" masyarakat, senior yang mendidik yuniornya dengan kekerasan, murid sekolah yang terlibat kriminalitas, dan solidaritas yang dimaknai sempit untuk "tawuran". Mereka (para remaja) itu tak pernah memperoleh kasih sayang dari pemerintah, ketika sekolah hanya memikirkan untuk "menyelamatkan mukanya" mengejar angka-angka tanpa memiliki waktu untuk memberikan kasih sayang kepada siswanya. Demikian pula ketika orang tua berjibaku dengan problem ekonominya dan ketika pemerintah menaikkan harga-harga. Anak-anak kita dari waktu ke waktu menjadi korban kesalahan generasi kita saat ini yang berpikir pendek.


Pendidikan bukan sekadar problem di sekolah, melainkan saling mengait dengan seluruh aspek lingkungan di mana siswa berkehidupan, termasuk bagaimana pemerintah melahirkan kebijakan yang lebih mendorong tumbuhnya nilai-nilai positif.


Pendidikan bukan hanya berorientasi "angka". Pola berpikir seperti ini akan mereduksi pendidikan dalam kerangka kuantitas saja. Mereka yang beranggapan bahwa penambahan mata pelajaran akan membuat para murid belajar keras, padahal seringkali kebijakan ini justru membuat beban siswa semakin berat karena pendidikan tidak memerdekakan anak bangsa untuk menjadi dirinya sendiri. Siswa akan semakin kesulitan untuk menemukan ruang mendewasakan diri.


Dengan beban mata pelajaran yang terlalu banyak, tapi tidak mendalam, berakibat wawasan siswa kurang mendalam. Sebab yang dipikirkan hanyalah angka belaka. Sekolah akhirnya bukan tempat yang nyaman bagi siswa untuk mengembangkan diri. Padahal, pendidikan merupakan proses bagi siswa untuk memiliki daya ekspresi dan wawasan lebih dalam, bukan hanya sekadar mencari nilai ijazah. Sesat pikir seperti inilah yang selalu diperkenalkan penguasa, entah apa maksudnya. Kontroversi dalam berbagai kebijakan pendidikan cukup jelas menggambarkan lemahnya visi pemerintah dalam kebijakan pendidikan selama ini. Visi adalah sebuah jangkauan terpanjang dari apa yang hendak dicapai dan dituju. Tetapi, kalau satu kebijakan hanya diarahkan untuk mengejar target, di mana visi pendidikan kita untuk mencerdaskan, maka itu membuat paradigma pendidikan semakin tidak jelas.

*) Penulis adalah penulis buku Politik Pendidikan Penguasa LKIS 2006.


Sumber : SUARA PEMBARUAN DAILY

Tidak ada komentar: